Memakan Bangkai

Oleh : Didi Junaedi 


“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.  Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.  Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hujurat: 12)


Siapa di antara kita yang sudi makan bangkai? Penulis yakin 100 %, tidak ada seorang pun di antara kita yang sudi makan bangkai. Jangankan memakannya, melihatnya saja sudah jijik. Bahkan ketika mencium baunya pun kita langsung menutup hidung rapat-rapat. Perasaan enek dan mual akan menjalar ke seluruh tubuh jika kita tidak segera menghindar dan menjauhinya.


Pada ayat kedua belas dari surat al-Hujurat yang penulis kutip di awal tulisan ini, al-Qur’an menggambarkan sebuah aktivitas yang diibaratkan layaknya memakan bangkai. Aktivitas apakah itu? Ya, menggunjing atau menggosip (ghibah). 


Pengertian ghibah sebagaimana disebutkan dalam salah satu riwayat hadis Rasulullah saw., dari Abu Hurairah r.a. berkata, ketika Rasulullah saw ditanya tentang makna ghibah, beliau menjawab: “Menyebutkan sesuatu tentang seseorang, dan ia tidak menyukainya (membencinya)”. (HR. Muslim)


Lantas, bagaimana jika yang kita katakan tentang seseorang tersebut benar adanya (sesuai dengan kenyataan)? Rasulullah menegaskan dalam sabdanya, “Jika yang kamu katakan ada padanya (sesuai dengan kenyataan), maka sungguh kamu telah mengghibahnya. Dan jika yang kamu katakan tidak ada padanya (tidak sesuai dengan kenyataan), maka sungguh kamu telah berdusta tentangnya.” (HR. At-Tirmidzi)


Dua riwayat hadis di atas menegaskan bahwa apa pun yang kita bicarakan tentang orang lain mengenai keburukannya, dapat menjerumuskan kita pada perilaku ghibah, bahkan bisa menuju fitnah atau dusta.


Al-Qur’an membuat perumpamaan orang-orang yang melakukan ghibah layaknya pemakan bangkai saudaranya. Mengapa pelaku ghibah ditamsilkan sebagai pemakan bangkai saudaranya? 


Al-Khazin dalam kitabnya Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil ketika menafsirkan ayat tersebut, mengutip pendapat Mujahid yang mengatakan bahwa perumpamaan orang-orang yang melakukan ghibah layaknya orang yang memakan bangkai saudaranya, karena ketika seseorang diceritakan aibnya oleh orang lain, tentu orang tersebut akan sakit hatinya, seperti sakitnya tubuh jika dagingnya terpotong. Sedangkan menjaga kemuliaan hati lebih utama dari sekadar menjaga kesempurnaan fisik.


Diriwayatkan dari Anas r.a. bahwa Rasulullah Saw pernah menyatakan, “Pada saat Mi’raj aku melewati sekelompok orang yang berkuku tembaga yang digunakan untuk mencakar muka dan daging, dalam riwayat lain, dada mereka sendiri. Maka saya bertanya kepada Jibril, “Siapakah mereka itu?” Jibril menjawab, “Mereka yang makan daging orang dan mencela kehormatan orang (yakni ghibah)” (HR. Abu Dawud).


Sungguh, betapa mengerikannya ancaman bagi para pelaku ghibah dan orang-orang yang suka mencela orang lain. Mereka diibaratkan sebagai pemakan bangkai saudaranya, juga digambarkan akan mendapat siksaan yang mengenaskan di akhirat nanti.


*  Ruang Inspirasi, Senin, 6 Februari 2023.