Aku dan suami menjalani kehidupan pernikahan jarak jauh. Berawal dari keadaan anak kami yang tiba-tiba menunjukkan suatu gejala, matanya bergerak-gerak ke tengah secara bergantian.

Kami membawanya ke dokter anak untuk memastikan, apakah betul ada masalah dengan matanya. Dokter bilang, ada masalah dan sebaiknya kami periksa ke dokter mata. Lalu kami membawanya ke dokter mata di kota, empat jam perjalanan dari tempat kami tinggal.

Benar, mata anak kami memang bermasalah. Tapi dokter bilang, di kota ini belum ada dokter mata yang bisa melayani perawatan mata pada anak. Akhirnya kami ada di antara dua pilihan, ke Makassar atau pulang ke Jawa.


Kami memutuskan pulang ke Jawa, kampung halamanku. Dari hasil pemeriksaan pertama, anak kami harus pakai kacamata untuk terapi agar otot matanya stabil. Dokter menyarankan, kami kembali lagi setelah tiga bulan untuk pemeriksaan lanjutan dan melihat perkembangannya.

MasyaAllah, terpaksa aku dan suami mengambil keputusan untuk menjalani LDR (long distance relationship). Aku di Jawa dan suami kembali ke kota tempatnya bekerja. Awalnya berjalan mulus. Setiap tiga bulan sekali, suami ke Jawa dan kami membawa anak kami periksa mata ke dokter mata yang sama.


Namun, berikutnya mulai terdengar selentingan tentang kami. Ada dari orang terdekat, bahkan orang yang nggak ada hubungan sama sekali dengan keluarga kami. Mereka bilang:

"Kasihan suaminya ditinggal lama."

"Kok nggak balik - balik? Nggak betah tinggal di perantauan?"

"Awas suaminya direbut orang, lho! Di sana itu berani-berani orangnya."

"Kalau suami ditinggal lama, hati-hati diganggu orang ketiga."

Ucapan terakhir itu yang paling sering aku dengar. Astaghfirullah! Awalnya aku merasa sedih karena ini pilihan bukan aku sendiri yang memutuskan. Mau tidak mau, kami jalani karena pilihan ini paling memungkinkan untuk kami.

Ketimbang harus bolak-balik luar kota untuk pemeriksaan anak, kan jadi butuh biaya lebih banyak. Lebih baik aku tinggal di Jawa dulu, kembali ke rumah orang tuaku. Aku sempat membela diri, menjelaskan keadaan kami.

Tapi, semua penjelasan itu sepertinya tetap tidak memuaskan. Mereka tetap berdalih dan terus berkomentar tentang gangguan-gangguan dalam menjalani rumah tangga jarak jauh.

Perasaanku sedih, Bunda. Aku menyadari kemungkinan itu, tapi ini keputusan kami berdua untuk anak kami dan insyaAllah pilihan terbaik saat ini bagi kami. Aku berdoa, semoga Allah menjaga hati dan pandangan suamiku.

Semakin lama, aku terbiasa dengan komentar orang dan sadar bahwa aku nggak harus menjelaskan kepada siapa pun tentang segala yang terjadi dalam hidupku. Karena yang tidak suka, akan tetap melihat sisi gelapku. Bagi mereka yang suka dan mendukung, nggak butuh penjelasan aku.

Kami tidak perlu ditakut-takuti dengan kemungkinan yang belum tentu akan terjadi. Dan kami berdoa supaya hal buruk tidak terjadi pada keluarga kami. Kami harus kuat!

Hikmah dari pengalaman ini membuatku lebih berhati-hati bicara. Karena belum tentu pandanganku sama sudutnya dengan orang lain.

-Bunda I, Gorontalo-