Aku dan suami berasal dari suku berbeda dengan adat yang sangat bertolak belakang.
Pada 2017, kami memulai pernikahan ini dengan mengambil kredit bank sebanyak Rp75 juta, yang akan dilunasi dalam 5 tahun.
Rinciannya, Rp30 juta untuk biaya pernikahan termasuk mahar dan seserahan, ibuku menanggung biaya pesta. Sedangkan sisanya Rp45 juta, dia kirim ke keluarganya dengan alasan memperbaiki dapur dan supaya kakaknya tidak marah karena dia menikah cepat.
Suamiku anak ke-5 dari 7 bersaudara. Di antara mereka, hanya suamiku yang PNS. Saat menikah, usia suami 26 tahun dan aku 24 tahun.
Sebenarnya, aku nggak mempermasalahkan dia mengirim uang untuk keluarganya.
Tapi, aku mau dia lebih bisa mempertimbangkan nominalnya.
Sisa gaji suami tak sampai Rp500 ribu, Bunda.
Itu pun harus bayar uang arisan per bulan Rp300 ribu.
Sedangkan uang arisan sudah dia ambil duluan dan dia kirim ke keluarganya.
Aku kerja sebagai tenaga kesehatan di salah satu RS dan ikut membantu biaya hidup sehari hari.
Statusku pegawai kontrak.
Awalnya, aku ikhlas menjalaninya.
Tapi melihat dia selalu mengutamakan keluarga di kampung, lama-lama aku jadi perhitungan.
Selagi aku membantu, dia selalu ingat keluarganya di kampung.
Besaran nominal yang dia kirim sering melebihi pemberian untuk aku.
Setiap dapat gaji ke-13 dan 14, yang dia ingat pasti keluarganya di kampung.
Akhirnya, kami sering berdebat hingga nyaris bercerai.
Padahal, waktu itu bulan Ramadan.
Aku sempat kecewa dengan keluarganya. Tahun 2019, dalam keadaan aku hamil 6 bulan dan punya balita usia 2 tahun, kami beserta ibu dan adikku pulang ke kampung halaman suami.
Kami dua kali naik pesawat dan memakan waktu perjalanan 14 jam.
Sampai di rumah mertua, ternyata dapurnya belum diperbaiki.
Uangnya dipakai ibu mertua untuk membiayai adik suamiku kuliah.
Itu tanpa sepengetahuan kami!
Selama di kampung suami, kami juga lumayan royal dengan mengajak mereka makan di luar dan keliling kota.
Habis total Rp20 juta dan kembali menabung dari awal untuk mempersiapkan kelahiran anak kedua kami.
Lalu awal 2022, aku kembali kecewa. Suami ingin Lebaran di kampungnya, padahal kami baru saja mudik akhir 2019.
Uang nggak banyak tapi dia memaksa ingin pulang kampung sendirian meninggalkan saya dan anak anak.
Selama 12 hari dia di kampung, selama itu pula saya mengurung diri di rumah bersama anak-anak.
Lebaran hanya di rumah saja saking aku kecewa.
Orang tuaku tahu aku kecewa, sampai menghibur dengan mengajak kami ke rumah saudara.
Saat ini, kami masih menumpang tinggal bersama orang tuaku.
Kami punya dua balita, usia 3 dan 5 tahun. Suamiku juga sudah terbebas dari kredit bank.
Orang tuaku mulai mengajak bangun rumah untuk kami dengan menyediakan tanah di samping rumah.
Kami kembali berdebat tentang besaran rumah yang akan dibangun.
Dana kami tidak banyak dan aku berharap bisa membangun rumah minimalis dua lantai, mengingat daerah kami rawan banjir.
Jadi kalau banjir mudah evakuasi barang-barang dan menyelamatkan diri. Tapi, suami kekeuh mau bangun rumah yang luas supaya bisa muat orang banyak kalau hajatan.
Akhirnya, sudah dua hari kami saling mendiamkan satu sama lain.
Sudah kesekian kalinya ingin bercerai tapi aku selalu mengingat, dia lebih baik dari kebanyakan laki-laki di daerah sini.
Dia nggak merokok, nggak nongkrong di warung berlama-lama, bisa menjaga anak, dan romantis.
Aku harus bagaimana?
-Bunda Y, Aceh Besar-
Tidak ada komentar
Posting Komentar