_Inspirasi di Bulan Suci_ *(Hari ke-16 Ramadan)*
*Ria, Sum’ah, ‘Ujub*
Oleh : Didi Junaedi
“Sesungguhnya yang aku takutkan (menimpamu) adalah syirik kecil. Sahabat bertanya, Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan syirik kecil? Rasul menjawab, Ria.” (HR. Ath-Thabrani dari Rafi’ bin Khadij)
Secara etimologis (bahasa), kata ria berasal dari bahasa Arab _ra’a-yara_ yang berarti ‘melihat’. Al-Qur’an menggunakan term ri’a’a dan yura’un untuk menunjukkan sikap atau perilaku ria.
Al-Ashfahani dalam _Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an_ menyebutkan bahwa makna dasar dari kata ri’a’a adalah muqabalah (perbandingan). Maksudnya, jika seseorang melakukan perbuatan baik karena ria, berarti ia telah menjadikan perbandingan antara Allah dan manusia.
Ibn ‘Asyur dalam karya tafsirnya, _Al-Tahrir wa al-Tanwir_ menyatakan bahwa kata ri’a’a termasuk bentuk _al-mubalaghah wa al-katsrah_ (memperkuat dan memperbanyak), artinya ia seringkali memperlihatkan perbuatan baiknya kepada orang lain.
Dari sejumlah keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ria adalah sebuah sikap seseorang yang menginginkan agar perbuatan baiknya dilihat orang lain, dengan harapan mendapat pujian dan sanjungan.
Setali tiga uang dengan sikap ria, yaitu sikap sum’ah. Kata sum’ah berasal dari bahasa Arab, _sami’a-yasma’u_, yang berarti mendengar. Kata sum’ah biasa dimaknai dengan keinginan seseorang agar perbuatan baiknya didengar oleh orang lain.
Dengan demikian, istilah ria dan sum’ah biasa digunakan untuk menunjukkan sikap seseorang yang melakukan perbuatan baik bukan karena Allah, tetapi karena ingin dilihat atau didengar orang lain. Atau dalam istilah yang lebih umum sering disebut “pamer”.
Sikap ria juga disebut dalam sebuah hadis sebagai syirik khafi (samar-samar, tersembunyi) atau syirik kecil, sebagaimana penulis kutip di awal tulisan ini. Disebut demikian, karena seseorang yang melakukannya berharap balasan bukan dari Allah, tetapi dari manusia, berupa pujian dan sanjungan.
Selain sikap ria dan sum’ah, ada sikap lain yang juga akan menghancurkan nilai (pahala) dari amal yang kita lakukan, yaitu ujub. Kata ujub berasal dari bahasa Arab, ‘ajiba – ya’jabu, yang berarti heran, takjub. Kata ini dengan beragam derivasinya banyak ditemukan di dalam al-Qur’an.
Dalam khazanah ilmu akhlak dan tasawuf, sikap ujub ini dikategorikan sebagai bagian dari sifat sombong (takabbur). Karena, orang yang ujub adalah orang yang terpesona, takjub dengan dirinya sendiri atas perbuatan yang dilakukannya, seperti ibadah, atau jasa baiknya terhadap orang lain.
Orang yang ujub akan selalu menonjolkan dirinya, menganggap dirinya paling baik, bahkan selalu mengklaim sebagai orang yang paling berperan dan berjasa. Sikapnya ini, secara otomatis menafikan kebaikan dan peran orang lain.
Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah r.a., sikap ujub ini masuk ke dalam kategori tiga hal yang merusak ( _Tsalatsun muhlikaatun_), selain bakhil yang ditaati ( _syuhhun mutha’_ ) dan keinginan yang selalu dituruti ( _hawa muttaba’_ ).
Dari keterangan singkat yang penulis uraikan ini, mudah-mudahan sedikit tergambar apa yang disebut dengan ria, sum’ah dan ujub. Kita semua memohon kepada Allah Swt, dan berusaha agar bisa terhindar dari ketiga sikap yang akan merusak dan menghancurkan nilai (pahala) dari ibadah yang kita lakukan.
* Ruang Inspirasi, Qabla Sahur, Jumat, 7 April 2023.
Tidak ada komentar
Posting Komentar