INNAA LILLAAHI WA INNAA ILAIHI ROOJI'UUN
Beban Hidup Paksa Siswa SMP di Cirebon Diduga Bunuh Diri
Perjalanan FF (12), siswa sekolah menengah pertama di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, seharusnya masih panjang. Namun, beratnya beban hidup membuat masa depan bocah itu tidak cerah. Dia memilih jalan pintas, bunuh diri di usia belia.
”Nak, kenapa tinggalin abi (bapak)? Abi sekarang sendiri, tidak punya siapa-siapa,” ucap KA (46) sembari menulis nama anaknya, FF, di papan nisan.
Siang itu, Sabtu (4/11/2023), KA tiada henti meneteskan air matanya di kediamannya di Desa Getasan, Kecamatan Depok. Dia masih sulit melepas anaknya.
Puluhan pelayat, sejumlah bendera partai, hingga stiker calon anggota DPRD setempat tidak mampu mengusir kesepiannya. Anak semata wayangnya telah pergi untuk selamanya pada Jumat (3/11/2023) sore, tepat tiga hari sebelum hari meninggal istrinya, setahun lalu.
FF mengakhiri hidup dengan gantung diri di rumah keluarganya di Kecamatan Plumbon. Saat itu, KA sedang beres-beres di tempat usaha fotokopinya, 500 meter dari lokasi. Tiba-tiba, warga memanggilnya untuk melihat anaknya. Awalnya, ia kira anak laki-lakinya itu terjatuh.
”Enggak ada sedikit pun pikiran saya begitu (FF bunuh diri). Pas saya ke sana sudah banyak warga, polisi. Saya langsung masuk dan peluk anak saya,” ujar KA.
Tubuh FF sudah dingin, kaku. Jarinya membiru. Bekas hitam melingkar di lehernya. Anak itu tidak lagi bernyawa.
KA tidak habis pikir, bagaimana mungkin anaknya, yang beberapa jam sebelumnya izin ke rumah neneknya untuk makan dan beli kuota, bisa bunuh diri. Ia juga tidak paham dari mana anaknya bisa menggantungkan tali di plafon setinggi 2 meter di kamar untuk bunuh diri.
Namun, KA mengakui, sejak istrinya meninggal karena sakit setahun lalu, anaknya seperti kehilangan arah. FF jadi murung dan kerap kali mengutarakan keinginannya bertemu sang ibu.
”Dia bilang, kangen sama umi (ibu), mau nyusul umi. Saya bilang, kirim doa saja,” ungkapnya.
Setelah kepergian ibu FF, hubungan KA dengan keluarga istrinya kurang harmonis. KA tidak lagi tinggal di rumah keluarga istrinya, tetapi di tempat usahanya bersama FF.
Sesekali, FF menginap di rumah itu. ”Tujuh hari setelah istri meninggal, saya diusir dari sana,” ucapnya.
KA mengakui, anaknya kerap melihatnya berseteru dengan keluarga istrinya. Ia menampik tuduhan saudara iparnya bahwa dirinya kerap melakukan kekerasan kepada FF.
”Wajar saya tegur sedikit kalau dia bandel. Dia memilih tinggal sama saya, artinya kerasan,” ucapnya.
Persoalan kian rumit saat masa kontrakan tempat usahanya seluas 3 meter x 4 meter, yang menjadi tempat tinggalnya, habis akhir Oktober 2023. Padahal, ia sudah menyewa warung yang berada di garasi rumah orang itu delapan tahun. Sebelumnya, ia membuka usaha fotokopi di depan sebuah SMP.
”Dulu, harga sewa di sana Rp 2,5 juta per tahun. Pas ada jalan, tempatnya digusur untuk (pabrik) rotan. Jadi, saya terpaksa mengontrak di garasi rumah orang,” ujarnya. Namun, ia tak lagi sanggup membayar biaya sewa Rp 5 juta setahun. Padahal, lokasinya strategis, dekat sekolah.
KA pun berencana pindah ke tempat baru di Getasan. Ia juga sudah menyiapkan lokasinya meski tak seramai di Plumbon.
”Abi, kok nasib kita selalu sengsara begini? Mendingan kita mati bareng-bareng saja. Saya enggak nanggapin,” kata KA menirukan ucapan FF waktu itu.
KA tidak menyangka perkataan anaknya itu menjadi penanda petaka. Sebagai seorang ayah, ia coba mengajak FF bercerita. Namun, katanya, anaknya lebih banyak berdiam diri di kamar dan bercengkerama dengan telepon pintarnya. KA juga tak tahu konten yang kerap FF saksikan.
”Cita-citanya mau jadi sarjana teknik. Dia tuh suka dengan mesin-mesin mobil. Dia mau kerja di (Pertamina) Balongan,” ungkapnya.
Namun, kini FF tidak bisa menggapai impiannya. Padahal, siswa kelas VII SMPN 1 Plumbon itu dikenal baik, rajin ke sekolah, dan cukup pintar.
Kepala SMPN 1 Plumbon Asup Suparlan mengatakan, FF tidak punya catatan masalah di sekolah. Ia juga tidak pernah berkonsultasi dengan bimbingan konseling. Nilai ujian terakhir FF di sejumlah mata pelajaran, seperti Pendidikan Agama Islam, mencapai 94, nyaris sempurna.
”Kami berdukacita atas kepergian FF. Semoga (kesalahannya) dimaafkan dan diterima Allah. Kami pastikan ini bukan masalah (perundungan) di sekolah,” ujarnya. Pihaknya mengklaim telah berupaya mencegah perundungan dengan mengajak siswa bercerita jika memiliki masalah.
Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Depok Inspektur Dua Budi Rahmanto mengatakan, FF diduga kuat bunuh diri. ”Kalau tanda-tanda kekerasan tidak ada. Dipastikan secara fisik ini gantung diri. Kami minta izin otopsi. Namun, keluarga keberatan,” ucapnya.
Meski demikian, pihaknya tetap akan meminta keterangan terhadap saksi-saksi, termasuk keluarga FF. Kasus bunuh diri remaja, katanya, baru terjadi di wilayah hukum Polsek Depok. Sebelumnya, pihaknya beberapa kali menangani kasus orang dewasa yang bunuh diri.
Yang terpenting, anak harus didengarkan, diajak cerita. Jika ada masalah, konsultasikan ke lembaga anak atau psikolog. Jangan dibiarkan.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Cirebon Fifi Sofiah mengatakan, kasus FF menunjukkan beratnya tekanan yang dirasakan anak. Beban itu, seperti ditinggal mati ibunya hingga masalah keluarga. Kondisi ini berimbas pada kesehatan mentalnya.
”Ada sesuatu (beban) yang dia tidak mampu menahan sehingga dia melakukan (bunuh diri) ini. Anak seumuran ini mengerti cara mengikat leher, mencari tempat aman mengakhiri hidupnya, seperti sudah terencana. Ini membuat saya sesak,” ungkap Fifi saat melayat.
Pihaknya menyayangkan peristiwa itu. Apalagi, kasus bunuh diri pada anak berusia di bawah 18 tahun bukan kali ini saja.
Pertengahan tahun lalu, misalnya, seorang anak di Desa Gebang Mekar bunuh diri. Tahun 2018, pelajar di Arjawinangun juga mengakhiri hidupnya dengan gantung diri.
Tren bunuh diri pada anak juga terjadi di sejumlah daerah. Dari Januari hingga Oktober 2023 terdapat 17 kasus bunuh diri pada remaja. Stres karena beban akademik, kekerasan, masalah pola asuh, hingga relasi tidak sehat dengan teman dan pacar menjadi pemicunya (Kompas, 31/10/2023).
Fifi meminta orangtua membenahi pola asuhnya dan sekolah memastikan siswa tidak menjadi korban kekerasan atau perundungan. ”Yang terpenting, anak harus didengarkan, diajak cerita. Jika ada masalah, konsultasikan ke lembaga anak atau psikolog. Jangan dibiarkan,” ujarnya.
Semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Aamiin.
Tidak ada komentar
Posting Komentar