*JEJAK DAJJAL DALAM SISTEM PENDIDIKAN*
Untuk dapat menguasai dunia, dajjal harus menguasai lima komponen utama peradaban, yaitu: sistem pendidikan dan pengetahuan, sistem pertahanan dan militer, sistem politik, sistem ekonomi dan keuangan, dan sistem budaya.
Banyak artikel penulis sebelumnya yang membahas jejak dajjal dalam sistem militer, politik, ekonomi dan budaya.
Serial 52 artikel yang berjudul DARI UKRAINA KE PAX JUDAICA: MENUJU DUNIA TANPA UANG TUNAI, membahas jejak dajjal dalam sistem militer, politik dan ekonomi.
Beberapa artikel sejak sekitar dua minggu terakhir lebih fokus pada upaya pelacakan jejak dajjal dalam peta geopolitik dunia. Misalnya artikel tentang Perang Salib, Perang Dunia, Perang Ukraina, dan Perang Palestina.
Beberapa artikel tentang jejak dajjal dalam sistem budaya juga sudah dipublish, bahkan sejak tiga-empat tahun yang lalu. Misalnya dalam artikel yang berjudul: TEORI KONSPIRASI POPULER LEWAT KONSPIRASI; MEREKA MENGUASAI SEMUA JENIS HIBURAN; LILY, LAGU PERSEMBAHAN DAJJAL.
(Sebagian besar artikel di atas sudah didokumentasikan di internet. Bisa diakses dengan mengetik kata kunci "tinewss maman supriatman", lalu ketik subjek judul yang dicari).
Untuk melengkapi pelacakan jejak dajjal dalam seluruh komponen utama peradaban, artikel hari ini akan melacak jejak dajjal dalam sistem pendidikan dan pengetahuan, yang sebenarnya merupakan prioritasnya, karena pengendalian terhadap sistem pendidikan dan pengetahuan merupakan prakondisi bagi pengendalian komponen peradaban lainnya.
Jejak dajjal dalam sistem pendidikan dan pengetahuan dapat ditelusuri antara lain melalui pelacakan atas sejarah tentang sumber dan klasifikasi ilmu yang merupakan wilayah kajian Filsafat Ilmu atau Epistemologi.
Klasifikasi ilmu merupakan salah satu tema yang selalu muncul baik dalam khazanah keilmuan Islam maupun Barat. Hal ini karena klasifikasi ilmu merupakan salah satu kunci untuk memahami tradisi intelektual.
Dalam tradisi keilmuan Islam, sumber dan klasifikasi ilmu selalu menjadi topik utama dalam literatur Filsafat Pendidikan Islam. Orang pertama yang merumuskan klasifikasi ilmu dalam tradisi keilmuan Islam adalah Al-Farabi (870-950 M), yang sampai saat ini masih sangat populer, karena dianggap sebagai pendiri aliran utama dalam Filsafat Islam, yaitu aliran _Masysya'i (Peripatetik)._
Di lain pihak, dalam masyarakat Barat, pemikiran Auguste Comte (1789-1857 M) masih memiliki pengaruh yang luas, karena filsafat positivismenya menjadi cikal bakal perkembangan ilmu pengetahuan.
Al-Farabi mengklasifikasikan ilmu pada dua kelompok besar, yakni: ilmu-ilmu
_'aqliyah_ (intelektual) dan ilmu-ilmu _naqliyah_ (doktrinal).
Basis ontologi klasifikasi ilmu Al-Farabi bermula dari proses penciptaan alam semesta yang mengambil bentuk emanasi atau pancaran Ilahi.
Alam semesta yang tercipta sebagai hasil proses emanasi ini tersusun secara hierarkis, mulai dari Allah yang tertinggi, melewati wujud-wujud
immaterial murni di bawahnya, hingga wujud paling rendah dari bagian material alam semesta. Konsekwensinya, struktur pengetahuan dalam Islam bersifat hierarkis atau berjenjang.
Di pihak lain Filsafat Ilmu barat, yang berkiblat pada Filsafat Positivisme Comte, terbatas pada, atau hanya mengakui jenis ilmu _aqliyah_, tidak ada tempat bagi jenis ilmu _naqliyah_ dalam Filsafat Positivisme.
Melalui prinsip positivisme, Comte membangun dasar yang digunakan oleh akademisi hingga saat ini, yaitu penerapan metode ilmiah (observasi dan eksperimen) sebagai sarana dalam memperoleh kebenaran.
Filsafat Positivismenya didasarkan atas asumsinya tentang hukum kemajuan kebudayaan masyarakat yang dibaginya menjadi tiga zaman.
Pertama, zaman teologis, adalah zaman dimana masyarakatnya mempunyai kepercayaan magis, percaya pada roh, jimat serta agama, dunia bergerak menuju alam baka, menuju ke pemujaan terhadap nenek moyang, menuju ke sebuah dunia dimana orang mati mengatur orang hidup.
Kedua, zaman metafisika, yaitu masa dimana pemikiran manusia masih terbelenggu oleh konsep filosofis yang abstrak dan universal.
Ketiga, zaman positivis, yaitu masa dimana segala penjelasan gejala sosial maupun alam dilakukan dengan mengacu pada deskripsi hukum-hukum ilmiah.
Dengan demikian, perkembangan peradaban manusia menurut Comte akan berujung pada positivisme. Dengan kata lain, positivisme adalah puncak peradaban.
Karena itu bisa disimpulkan bahwa Comte adalah perumus utama ideologi peradaban barat modern, yang pada dasarnya tidak bertuhan karena Agama diposisikan sejajar dengan pemujaan roh dan jimat.
Meskipun demikian, jika dilacak ke belakang ia juga dipengaruhi oleh para pendahulunya, khususnya Francis Bacon (1561-1626), David Hume (1711-1776) dan Jean Jacque Rousseau (1712-1778).
Filsafat Ilmu atau Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari: sumber pengetahuan, metode dan verifikasinya. Perbedaan antara Filsafat Ilmu Islam dan barat terletak pada seluruhnya: sumber, metode dan verifikasinya.
Dalam Islam, sumber pengetahuan ada empat yang sifatnya hierarkis: wahyu, qalbu, rasio dan dunia empirik. Masing-masing dengan metode dan verifikasinya sendiri.
Sementara Filsafat Ilmu Comte hanya mengakui dunia empirik sebagai sumber pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah, sejauh yang bisa diverifikasi melalui observasi dan eksperimen.
Dalam klasifikasi ilmu Al-Farabi, Filsafat Ilmu Comte ini hanya mencakup ilmu _aqliyah_, itu pun hanya sebagiannya, karena bahkan ia tidak mengakui pemikiran rasional metafisis. Sedangkan sumber _naqliyah_ disebutnya sebagai "menuju ke sebuah dunia dimana orang mati mengatur orang hidup".
Dengan kata lain, menurut perspektif Epistemologi Islam, Filsafat Ilmu Comte hanya mengakui sumber ilmu eksternal dan tidak mengakui sumber ilmu internal. Inilah persisnya yang dikehendaki dajjal, yaitu dia ingin semua orang melihat dunia hanya dengan satu mata, seperti dirinya.
Jejaknya bisa diidentifikasi dengan mudah dalam sistem pendidikan di Indonesia. Sejak jenjang Pendidikan Menengah, peserta didik diarahkan untuk memilih salah satu dari 3 jurusan, yaitu: IPA, IPS dan Bahasa. Klasifikasi ini berlanjut sampai jenjang Pendidikan Tinggi.
Dalam klasifikasi ini tidak ada tempat bagi pengembangan Ilmu-ilmu Keagamaan atau ilmu _naqliyah_. Paling jauh dimasukkan sebagai bagian dari rumpun IPS.
Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, untuk mengimbangi sistem persekolahan yang semula didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda itu (yang kemudian dijadikan cikal bakal sistem persekolahan), umat Islam mengembangkan sistem pendidikan pesantren yang murni bersifat keagamaan atau _naqliyah._ Lalu berkembang menjadi Madrasah, kemudian Madrasah dikembangkan sebagai pendidikan umum berciri khas Islam.
Belakangan sudah banyak bermunculan model _Islamic Boarding School_ atau Sekolah Islam Terpadu, yang mengintegrasikan keunggulan pendidikan Islam khususnya pesantren, dengan keunggulan yang dimiliki lembaga pendidikan umum.
Pada jenjang Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia terdapat perkembangan signifikan setelah berdirinya UIN tahun 2002 di Jakarta dan di Yogyakarta, yang kemudian diikuti oleh berdirinya banyak UIN di berbagai Propinsi, sebagai pengembangan dari IAIN dan STAIN, yang murni bersifat keagamaan atau doktrinal dalam klasifikasi Al-Farabi.
Berdirinya UIN dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk mengembangkan visi keilmuan integratif. Visi keilmuan ini bila dilacak ke akar tradisi keilmuan Islam akan bertemu kembali dengan watak keilmuan Islam yang hierarkis seperti yang dirumuskan Al-Farabi, yang sama sekali berbeda dengan watak keilmuan barat yang positivistik.
*Implikasinya terhadap Pengembangan Visi Keilmuan*
Problem utama pengembangan visi keilmuan integratif (di UIN) bukan pada formula model keilmuannya, tapi terletak pada ketersediaan Tenaga Pendidik dan Kependidikan.
Meskipun formula model keilmuan juga penting, namun yang lebih penting adalah bagaimana implikasinya terhadap seluruh komponen dalam sistem manajemen pendidikan tinggi.
Penekanan ini penting karena ada kesan, bahwa setelah memiliki formula model keilmuan, maka masalahnya sudah selesai. Problem implementasi adalah masalah kualifikasi dan kompetensi SDM pengelola atau Tenaga Kependidikan. Jadi problem utamanya adalah masalah Tenaga Pendidik dan Kependidikan.
Dalam hal Tenaga Pendidik, idealnya untuk mengajarkan keilmuan integratif, dibutuhkan dosen yang juga memiliki substansi keilmuan integratif. Mengajarkan integrasi ilmu bukan hanya soal metodologi, tapi terutama soal substansi ilmu.
Masalahnya, selama ini rekruitmen dosen untuk mengajar keilmuan _aqliyah_ di UIN berasal dari Pendidikan Tinggi, yang ketika S1 mereka hanya memperoleh PAI dua sks, dalam struktur kurikulum yang pada dasarnya positivistik. Waktu S2 dan S3 malah tidak ada mata kuliah yang berhubungan dengan kebutuhan pengembangan keilmuan integratif. Tidak ada tempat sama sekali bagi ilmu-ilmu _naqliyah_ dalam struktur kurikulumnya.
Karenanya, solusi yang bisa ditawarkan adalah memproduksi calon dosen sendiri dengan menjadikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) di UIN sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) mandiri, yang mengembangkan seluruh disiplin ilmu/Program Studi pada seluruh Program (S1, S2 dan S3).
Lulusan S1 untuk guru bidang studi _aqliyah_ di Madrasah pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Program S2 untuk dosen pada Program S1, dan lulusan S3 untuk dosen pada Program S2.
Implikasinya, manajemen FITK harus terpisah dari manajemen UIN, seperti UPI. Jika tetap digabung dalam UIN, maka FITK akan menjadi sangat besar sehingga akan menjadi tidak efisien dan tidak fokus.
Karena itu, masih dibutuhkan waktu setidaknya dua atau tiga generasi untuk melihat dampak UIN terhadap hadirnya lulusan dengan visi keilmuan integratif, yang menyatu di dalam dirinya profil ulama dan ilmuwan sekaligus.
Profil keilmuan yang digambarkan dalam Surat Al-Kahfi sebagai _majma' al-bahrain_, yakni bertemunya dua samudera pengetahuan empirik-rasional-eksternal Nabi Musa AS dengan pengetahuan intuitif-spiritual-internal Nabi Khidr AS.
Waktu yang panjang dibutuhkan untuk mengembangkan LPTK yang memiliki semua Program Pendidikan Tinggi pada seluruh disiplin ilmu _aqliyah_.
Jika satu generasi adalah 40 tahun, maka dibutuhkan setidaknya 80 tahun, sampai kita memiliki Program S3 pada seluruh bidang atau disiplin ilmu _aqliyah_. Lalu masih dibutuhkan setidaknya satu generasi lagi untuk menghasilkan Guru Besar dalam semua disiplin ilmu _aqliyah_ untuk mengajar pada Program S3.
Jika dihitung sejak Positivisme Comte, yang bertanggung jawab atas sistem pengetahuan positivistik di seluruh dunia, berarti hampir satu setengah abad, maka waktu yang kita butuhkan selama tiga generasi atau 120 tahun untuk menghapus jejak positivisme dalam sistem pendidikan kita, adalah masuk akal.
Tapi itu pun jika kita sependapat bahwa itulah problem utamanya. Setelah itu, barulah seluruh sumber daya yang kita miliki difokuskan untuk merumuskan langkah-langkah implementasinya dalam seluruh aspek penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Kita jadi teringat salah satu rekomendasi dari Konferensi Dunia I tentang Pendidikan Islam Internasional yang diselenggarakan tahun 1977 di Mekkah, bahwa "Problem utama pendidikan di dunia Islam adalah problem tenaga pendidik. Oleh karena itu, ketika kita telah berhasil memperoleh orang-orang yang tepat dalam profesi ini, maka sebagian besar masalah yang kita hadapi sudah teratasi dengan sendirinya".
Kini setelah hampir setengah abad, rekomendasi itu agaknya semakin relevan. Sebabnya adalah karena kita belum menganggapnya sebagai problem serius, sehingga belum ada solusinya.
Dengan demikian, problem utamanya adalah karena belum pernah disepakati sebagai problem utama. Padahal Konferensi itu dihadiri oleh seluruh pakar Pendidikan di dunia Islam.
Bisa juga karena untuk mengimplementasikan gagasan besar ini dibutuhkan keputusan politik di tingkat pengambil keputusan, terutama karena implikasinya terhadap alokasi anggaran.
Jika sudah beroperasi dalam skala penuh, tanpa FITK pun UIN akan menjadi sangat besar, karena harus mengelola seluruh Fakultas dan Jurusan/Prodi.
Karena itu formula yang lebih realistis adalah membagi tugas antara UIN dengan LPTK. FITK di UIN sampai Program S1. Sedangkan untuk Program S2 dan S3 Kependidikan dikelola oleh LPTK Keagamaan dengan manajemen mandiri yang terpisah dari UIN.
Fungsi utama LPTK Keagamaan ini adalah menyediakan Tenaga Pendidik dan Kependidikan bagi UIN yang desain kurikulumnya dirancang untuk mendukung integrasi ilmu.
Formula kebijakan ini akan lebih efisien dan efektif. Dengan satu LPTK Keagamaan untuk memenuhi kebutuhan SDM bagi seluruh UIN.
*Refleksi: Positivisme di Sekeliling Kita*
Berdasarkan perspektif di atas, kita juga lalu dapat mengidentifikasi jejak positivisme terhadap pemahaman keagamaan dalam Islam.
Mereka yang menolak penafsiran atas simbolisme Agama, misalnya nubuwwah tentang 40 hari dajjal di bumi, akan mengatakan bahwa fitnah dajjal itu tidak ada, sampai munculnya keledai terbang bertelinga lebar sepanjang 20 meter.
Demikian juga mereka yang mengatakan dajjal tidak akan pernah hadir secara fisik karena ia hanyalah simbol kejahatan dan bukan sebagai sumber ujian terbesar, tidak akan mempercayai bahwa fitnah dajjal sudah lama bekerja.
Karena itu, orang yang tidak percaya pada fitnah dajjal, yang bahayanya bahkan sudah diingatkan oleh seluruh Nabi, adalah orang yang paling rentan terhadap fitnah dajjal.
Jika positivisme diterapkan dalam studi Hadits, mereka akan fokus pada Sanad (jalur periwayatan), bukan pada Matan (substansi). Sebabnya, karena Sanad itu empirik, sedangkan Matan tidak empirik.
Itu sebabnya, mereka tidak akan mengerti, mengapa Imam Ghazali senantiasa memulai menulis dengan Shalat Sunnah. Mereka tidak akan faham hubungan antara Shalat dengan menulis, sehingga Kitab Ihya, misalnya, bagi mereka adalah Kitab bid'ah yang dipenuhi Hadits palsu.
Kaum positivistik tidak akan mengerti bahwa ilmu tertinggi adalah _ma'rifatullah_. Mereka juga tidak akan mengerti bahwa hanya orang berilmu (ulama) yang takut kepada Allah.
Mereka yang terpengaruh oleh fikiran positivisme akan mengatakan bahwa mengajarkan Hadits-hadits akhir zaman, misalnya tentang dajjal, adalah halu atau tahayyul. Mereka akan mengatakan bahwa memahami Hadits akhir zaman dalam konteks sejarah adalah cocoklogi. Mereka juga akan mengatakan bahwa mempercayai kehidupan setelah kematian sama saja dengan mempercayai "orang mati mengatur orang hidup".
Akhirnya, orang-orang yang terpengaruh oleh positivisme akan menjadi syetan bisu. Mereka telah dibutakan mata hatinya sehingga tidak mampu melihat kemunkaran di sekelilingnya. Mereka juga akan mengatakan bahwa Tuhan tidak terlibat dalam proses sejarah.
Semua hal yang tidak empirik tidak mungkin bisa diverifikasi oleh metodologi "ilmiah". Bagaimana melakukan observasi dan eksperimen untuk membuktikan kehidupan setelah kematian, untuk membuktikan keterlibatan Tuhan dalam proses sejarah? Apa hubungan antara Shalat dengan menulis?
الله اعلم
MS 09/12/23
Tidak ada komentar
Posting Komentar