*METODOLOGI ILMU AKHIR ZAMAN: MERUMUSKAN EPISTEMOLOGI UNTUK MENJANGKAU HIERARKI REALITAS*
Epistemologi atau Filsafat Ilmu adalah cabang Filsafat yang mempelajari: sumber dan klasifikasi pengetahuan, metode dan verifikasinya. Perbedaan antara Filsafat Ilmu Islam dan barat terletak pada seluruhnya: sumber, klasifikasi metode dan verifikasinya.
Sumber dan klasifikasi ilmu merupakan salah satu tema yang selalu muncul baik dalam khazanah keilmuan Islam maupun Barat. Hal ini karena sumber dan klasifikasi ilmu merupakan kunci untuk memahami tradisi intelektual.
Dalam tradisi intelektual Islam, sumber dan klasifikasi ilmu selalu menjadi topik utama dalam literatur Filsafat Pendidikan Islam. Orang pertama yang merumuskan klasifikasi ilmu dalam tradisi keilmuan Islam adalah Al-Farabi (870-950 M), yang sampai saat ini masih sangat populer, karena dianggap sebagai pendiri aliran utama dalam Filsafat Islam, yaitu aliran _Masysya'i (Peripatetik)._
Di lain pihak, dalam masyarakat Barat, pemikiran Auguste Comte (1789-1857 M) masih memiliki pengaruh yang luas, karena Filsafat Positivismenya menjadi cikal bakal perkembangan ilmu pengetahuan.
Al-Farabi mengklasifikasikan ilmu pada dua kelompok besar, yakni: ilmu-ilmu
_'aqliyah_ (intelektual) dan ilmu-ilmu _naqliyah_ (doktrinal).
Basis ontologi klasifikasi ilmu Al-Farabi bermula dari proses penciptaan alam semesta yang mengambil bentuk emanasi atau Pancaran Ilahi.
Alam semesta yang tercipta sebagai hasil proses emanasi ini tersusun secara hierarkis, mulai dari Allah yang tertinggi, melewati wujud-wujud
immaterial murni di bawahnya, hingga wujud paling rendah dari bagian material alam semesta. Konsekwensinya, struktur pengetahuan dalam Islam bersifat hierarkis atau berjenjang.
Di pihak lain Filsafat Ilmu barat, yang berkiblat pada Filsafat Positivisme Comte, terbatas pada, atau hanya mengakui jenis ilmu _aqliyah_, tidak ada tempat bagi jenis ilmu _naqliyah_ dalam Filsafat Positivisme.
Melalui prinsip positivisme, Comte membangun dasar yang digunakan oleh akademisi hingga saat ini, yaitu penerapan metode ilmiah (observasi dan eksperimen) sebagai sarana dalam memperoleh kebenaran.
Filsafat Positivisme didasarkan atas asumsi tentang hukum kemajuan kebudayaan masyarakat yang dibagi menjadi tiga zaman:
Pertama, zaman teologis, adalah zaman dimana masyarakatnya mempunyai kepercayaan magis, percaya pada roh, jimat serta agama, dunia bergerak menuju alam baka, menuju ke pemujaan terhadap nenek moyang, menuju ke sebuah dunia dimana orang mati mengatur orang hidup.
Kedua, zaman metafisika, yaitu masa dimana pemikiran manusia masih terbelenggu oleh konsep filosofis yang abstrak dan universal.
Ketiga, zaman positivis, yaitu masa dimana segala penjelasan gejala sosial maupun alam dilakukan dengan mengacu pada deskripsi hukum-hukum ilmiah.
Dengan demikian, perkembangan peradaban manusia menurut Comte akan berujung pada positivisme. Dengan kata lain, positivisme adalah puncak peradaban.
Comte adalah perumus utama ideologi peradaban barat modern, yang pada dasarnya tidak bertuhan karena Agama diposisikan sejajar dengan pemujaan roh dan jimat.
Meskipun demikian, jika dilacak ke belakang ia juga dipengaruhi oleh para pendahulunya, khususnya Francis Bacon (1561-1626), David Hume (1711-1776) dan Jean Jacque Rousseau (1712-1778).
Berbeda dengan Filsafat Positivisme Comte, sumber dan klasifikasi pengetahuan dalam tradisi keilmuan Islam ada empat: wahyu, qalbu, rasio dan dunia empirik. Masing-masing dengan metode dan verifikasinya sendiri. Karena sifatnya yang hierarkis, maka tidak bisa diloncat atau dirubah urutannya dalam upaya memperoleh pengetahuan.
Sementara Filsafat Ilmu Comte hanya mengakui dunia empirik sebagai sumber pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah, sejauh yang bisa diverifikasi melalui observasi dan eksperimen.
Dalam klasifikasi ilmu Al-Farabi, Filsafat Ilmu Comte ini hanya mencakup ilmu _aqliyah_, itu pun hanya sebagiannya, karena bahkan ia tidak mengakui pemikiran rasional metafisis. Sedangkan sumber _naqliyah_ disebutnya sebagai "menuju ke sebuah dunia dimana orang mati mengatur orang hidup".
Dengan kata lain, menurut perspektif Epistemologi Islam, Filsafat Ilmu Comte hanya mengakui sumber ilmu eksternal _(hushuli)_, dan tidak mengakui sumber ilmu internal _(hudluri)_.
Kebenaran hierarkis sebagai ciri utama Epistemologi Islam mengakui dan menggunakan seluruh sumber pengetahuan: Pengetahuan Empirik, Pengetahuan Rasional, Pengetahuan Intuitif, dan Pengetahuan Profetik-Ilahiah.
Pengetahuan Empirik membatasi diri pada wilayah empirik yang bisa dijangkau oleh observasi dan eksperimen. Pengetahuan Rasional menembus dunia rasional yang tidak bisa dijangkau oleh observasi dan eksperimen, lewat penerapan tiga fungsi filsafat: spekulatif, kritis dan analitik.
Pengetahuan Intuitif menjangkau realitas yang tidak bisa ditembus oleh rasionalitas manusia. Dan Pengetahuan Profetik menjangkau Pengetahuan Ilahiyah yang bisa diperoleh hanya oleh _qalbu_ yang tercerahkan.
Inilah makna pembelajaran Khidir kepada Musa yang diabadikan dalam Surat Al-Kahfi. Ketika Khidir melubangi perahu, Musa membacanya melalui level pengetahuan empirik dan rasional saja. Bahwa melubangi perahu akan menyebabkan perahu dan seluruh penumpangnya tenggelam.
Khidir melakukannya karena ia sudah bisa menjangkau pengetahuan level 3 dan 4 yang tidak bisa dijangkau oleh Pengamatan Empirik dan penalaran rasional yang dimiliki Musa. Bahwa di tengah lautan sana akan ada perompak laut yang akan merampas perahu yang baik. Dengan melobanginya berarti perahu itu cacat, maka perahu itu akan selamat.
(Sebenarnya sangat mudah bagi Khidir untuk melumpuhkan para perompak itu.Tapi dia tidak melakukannya karena sedang melaksanakan perintah Allah untuk mengajari Musa tentang hierarki pengetahuan).
Khidir mengajari Musa tentang hierarki pengetahuan, melalui tiga episode peristiwa: perahu yang dilubangi, anak remaja yang dibunuh, dan rumah gubug (ada yang menyebut benteng) tua yang sudah miring dan diperbaiki oleh Khidir.
Epistemologi barat hanya mengakui level pengetahuan pertama dan kedua, tidak mengakui level ketiga dan keempat. Sementara Epistemologi Islam mengakui dan menggunakan semuanya.
Epistemologi barat sebenarnya bukan hanya tidak mengakui level ketiga dan keempat, tapi juga tidak mengakui pengetahuan level kedua, karena fungsi spekulatif, kritis dan analitik yang merupakan fungsi rasio terhadap pengayaan pengetahuan, tidak semuanya terjangkau oleh observasi dan eksperimen.
Mereka menyebut pengetahuan level 2, 3 dan 4 sebagai pengetahuan semu. Syekh Imran menyebut pengetahuan level 1 sebagai pengetahuan anak sekolahan, karena baru sampai kepada pengetahuan level 1, sehingga tidak dapat menjangkau hierarki realitas tentang luasnya samudera pengetahuan.
Allah Maha Tinggi memberi kita kesempatan untuk bisa menjangkau semua level pengetahuan, antara lain dengan cara membaca Surat Al-Kahfi pada hari Jumat.
Siapa saja yang merutinkan membacanya dengan adab yang benar, dijanjikan Cahaya di antara dua Jum'at (HR. An-Nasa'i), atau "akan disinari Cahaya antara dia dengan Ka'bah". (HR. Ad-Darimi).
Bila kedua Hadits itu digabungkan, artinya Cahaya itu akan tetap bersama orang yang setiap jumat membacanya, sehingga antara dia dengan Ka'bah selalu diliputi oleh CahayaNya.
Maknanya, dengan Cahaya itu ia bisa menembus ruang dan waktu. Dengan Cahaya inilah ia bisa menjangkau pengetahuan pada semua level, yang tidak bisa dijangkau oleh mereka yang tidak memiliki Cahaya Ilahi di dalam hatinya.
Akan ada perbedaan hasil penafsiran antara "Epistemologi Satu Mata" dengan "Epistemologi Dua Mata" dalam melihat segala sesuatu. Epistemologi Nabi Musa baru bisa menjelaskan realitas yang berada pada level 1, berbeda dengan Epistemologi Nabi Khidir yang sudah bisa menjangkau seluruh hierarki realitas. Maka kesimpulan dan implikasinya tentu akan berbeda pula.
*Diskusi*
Epistemologi "Dua Mata" ini sayangnya sudah lama menghilang dalam sistem pendidikan formal.
Dikotomi sistem pengetahuan tidak hanya terjadi antara "Ilmu Agama" dan "Ilmu Umum", tetapi juga antar-disiplin Ilmu-ilmu Keislaman. Misalnya, dikotomi antara Pemikiran Islam dengan Al-Qur'an/Hadits. Akibatnya, Pemikiran Islam terlepas dari dua Sumber Utamanya. Penyebabnya, karena mengabaikan Sumber dan Klasifikasi Pengetahuan Hierarkis dalam Epistemologi Islam.
Implikasinya, para Pemikir Islam tidak mampu memberikan respon atas berbagai realitas kehidupan modern berdasarkan kedua Sumber Otentiknya. Dengan demikian, gagal memberikan tuntutan kepada umat ini bagaimana menghadapi problem hakiki kehidupan modern, dimana "api" tampak sebagai "air", dan "air" tampak sebagai "api".
Fakta bahwa Pemikir Islam gagal memberikan respon terhadap realitas dunia modern ini, membuktikan bahwa dunia intelektual Islam membutuhkan terobosan baru guna mencairkan kejumudan berfikir model baru ini.
Setelah sejak tahun 1970/80an pembaharuan pemikiran Islam yang dirintis oleh generasi Prof. Harun Nasution dan Cak Nur, kini setelah berusia setengah abad, problem dan tantangan yang kita hadapi sudah jauh berbeda, sehingga dibutuhkan energi pembaharuan pemikiran baru untuk melanjutkan dan mengoreksi pembaharuan pemikiran Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu kita.
Dalam rangka pembaharuan Studi Islam ini, khususnya pada Jenjang Pendidikan Tinggi, sebenarnya bisa dihidupkan kembali dengan mendesain-ulang kurikulum pada rumpun _Dirasah Islamiyah/Islamic Studies_, terutama pada Mata Kuliah: Al-Qur'an/Tafsir, Hadits, Tasawuf, Filsafat dan Sejarah Peradaban Islam.
Namun hal ini membutuhkan kualifikasi tenaga Dosen yang sejak awal kurikulumnya didesain untuk pembelajaran integratif, baik pada substansi materi maupun pada metode pembelajarannya.
"Problem utama pendidikan di dunia Islam adalah problem tenaga pendidik. Karena itu, begitu kita memperoleh kualifikasi tenaga pendidik yang tepat, maka sebagian besar problem pendidikan di dunia Islam akan selesai dengan sendirinya".
(Rekomendasi Konferensi Internasional I tentang Pendidikan Islam, Mekah: 1977).
الله اعلم
MS 26/12/23
Tidak ada komentar
Posting Komentar